28 September 2007

300 vs Apocalypto

Dua hari berturut-turut saya menonton dua film yang berbeda, tapi ternyata sangat mirip satu sama lain, yaitu 300 dan Apocalypto.

Dalam banyak hal jelas kedua film ini berbeda jauh. Yang satu berdasar kisah nyata, satunya fiksi dengan setting sejarah. Yang satu terjadi di Yunani, satunya di Amerika. Yang satu terjadi pada tahun 480 SM, satunya di akhir abad 15 atau awal abad 16 menjelang masa kedatangan conquistadores ke Amerika Tengah. Film pertama bercerita tentang perjuangan Leonidas dan 300 prajurit Sparta mempertahankan Thermopylae (Gerbang Panas) dari serbuan sejuta pasukan Persia di bawah pimpinan Xerxes. Sedangkan film kedua tentang perjuangan Jaguar Paw (Cakar Jaguar) menyelamatkan anak, istri dan dirinya sendiri dari kematian mengerikan akibat ulah para pembesar bangsa Maya.

Tapi, seperti sudah saya bilang di atas, ternyata banyak juga kemiripan dari kedua film ini. Yang jelas keduanya film "perang" alias film action. Satu kata yang saya pakai juga di atas untuk mendeskripsikan keduanya adalah "perjuangan", bedanya yang satu perjuangan sebuah bangsa, yang satunya perjuangan pribadi. Keduanya mengandalkan special effect untuk menghasilkan gambar-gambar yang mengundang decak kagum. Usaha (dan budget) yang tidak sedikit dikerahkan untuk menampilkan realisme yang luar biasa. Keduanya bisa dibilang film kolosal, dengan ratusan figuran dan stunt. Dan satu benang merah yang jelas-jelas menghubungkan keduanya adalah: kekerasan.

Kedua film mendapat kategori rating R untuk adegan kekerasan dan perang yang sangat graphic dan sedikit nudity. Dan memang sepanjang film, mulai dari menit pertama sampai terakhir, penonton disuguhi berbagai adegan kekerasan yang semakin lama semakin mencengangkan. Adegan potong kepala yang di film-film lama biasanya tidak ditampilkan dengan jelas, hanya diperlihatkan pedang menyentuh leher, dan sekilas kemudian tubuh roboh tanpa kepala, dalam kedua film ini ditampilkan sangat jelas, bahkan dalam slow motion, lengkap dengan ekspresi wajah korban saat pedang memisahkan kepala dari tubuhnya. Begitu pula adegan tangan terpotong, kaki terpotong, organ dalam tubuh terburai keluar, semuanya ditampilkan tanpa jeda, memaksa penonton yang bernyali ciut memejamkan mata atau memalingkan wajah.

Banyak adegan-adegan yang serupa dalam kedua film, misalnya scene ratusan mayat bertumpuk-tumpuk. Dalam 300, itu adalah mayat tentara Persia yang disusun membentuk tembok oleh tentara Sparta. Sedangkan dalam Apocalypto, mayat korban-korban tanpa kepala yang dibuang begitu saja di suatu lembah. Entah apa gunanya menampilkan semua adegan tersebut dengan begitu nyata, apakah hanya untuk pamer teknologi special effect? Atau ada alasan lain?

Memang kemajuan teknologi special effect sekarang sudah memungkinkan pembuat film untuk menghasilkan gambar apa pun yang diinginkannya. Adegan-adegan yang dulu hanya tersirat saja, dan mengandalkan imajinasi penonton untuk membayangkannya, sekarang bisa ditampilkan dengan sangat realistis. Jadi sudah tidak diperlukan lagi imajinasi untuk menonton film-film jaman sekarang. Orang hanya tinggal menonton sambil makan popcorn dan percaya bahwa semua itu benar-benar terjadi. Imajinasi ditumpulkan.

Ternyata bukan hanya imajinasi saja yang ditumpulkan, tapi juga telah terjadi desensitization - saya harus bolak-balik mengecek kamus, wiki, dan lain-lain untuk meyakinkan diri bahwa saya tidak salah tulis. Artinya, sense atau [panca] indera juga telah ditumpulkan, tidak lagi peka. Beberapa tahun yang lalu, untuk menampilkan kesan sadis, orang cukup menampilkan pisau dan beberapa darah yang menetes dari ujungnya; untuk menampilkan kesan horor, cukup dengan beberapa kelebat bayangan hitam dan suara musik pipe organ dalam nada minor. Untuk menampilkan kesan seksual, cukup dengan beberapa kerlingan dan pundak yang sedikit terbuka. Dan orang sudah bisa menangkap maksudnya dan merasakan kengerian, ketakutan, maupun kesensualannya.

Tapi sekarang, ada adegan seorang korban pembantaian yang terbelalak menyaksikan jantungnya sendiri yang masih berdenyut hangat di tangan seorang pendeta Maya, sesaat setelah si pendeta merobek dadanya dengan pisau batu, dan sesaat sebelum seorang pendeta lain memenggal kepalanya lalu melemparkannya bergulung-gulung melewati tangga piramida kepada kerumunan rakyat yang menonton dari bawah. Gambar yang mungkin tidak akan lolos sensor beberapa tahun yang lalu. Semua itu tentu tidak berubah dalam semalam, tapi melalui proses bertahun-tahun. Film demi film, adegan kekerasan demi adegan kekerasan, menumpulkan panca indera. Stimulus yang sama tidak lagi menggairahkan, setelah dialami berkali-kali, perlu yang lebih hebat lagi, lebih besar lagi, lebih luar biasa lagi.

Sebagai catatan pribadi, bagi saya film 300 masih lebih "baik" daripada Apocalypto. Alasannya? Dengan tata warna sephia, backdrop yang lebih surealis daripada realis, make up dan kostum yang berlebihan (lihat saja penampilan Xerxes dengan piercing dan rantai-rantainya yang lebih mirip banci daripada raja sebuah kerajaan besar, atau jubah merah para Spartan yang tetap mulus melambai walaupun tubuh mereka terkoyak-koyak) film ini lebih bisa saya nikmati sebagai sebuah fantasi. Darah yang muncrat berwarna coklat-sephia-kehitaman menyadarkan saya setiap saat bahwa ini hanya sebuah film dan bukan kenyataan. Sedangkan Apocalypto menampilkan kesederhanaan dan realisme yang tajam dan menusuk. Warna-warna alam dan tubuh manusia yang nyata, darah yang merah dan kental, semuanya seolah berusaha meyakinkan bahwa ini memang benar-benar terjadi, dan itu yang lebih mengerikan.

Tapi nyatanya, saya tetap tidak berkedip, tidak jijik dan tidak mual menyaksikan semua itu. Apakah saya juga sudah terkena desensitization? Penumpulan? Walahualam...