28 March 2007
Kena lagi!
Tidak. Saya tidak sedang mengumpat, tetapi itulah nama virus yang menyerang komputer di kantor kami, setidaknya itu adalah nama program yang tampak di kotak dialog Close Program waktu saya menekan Ctrl-Alt-Del. Nama generiknya adalah W32/VBWorm.ZL. Memang bukan virus yang pintar menyembunyikan diri, bahkan tampaknya sang pencipta justru ingin memamerkan hasil karyanya pada setiap orang sesegera mungkin, sehingga virus ini jadi cepat terdeteksi. Namun demikian ternyata cukup merepotkan juga, bahkan sampai bisa menyerang dua kali, walaupun sebagian penyebabnya juga karena kelalaian kami sendiri.
Serangan pertama terjadi sekitar 2 minggu yang lalu ketika seorang teman memasukkan flashdisk ke salah satu komputer, sebut saja komputer A, dan mengaksesnya melalui jaringan dari komputer lain, sebut saja komputer B. Sebetulnya ada peraturan bahwa setiap flashdisk harus di-scan dulu dengan program antivirus, tapi sialnya, kali itu tidak. Dan flashdisk yang beberapa hari sebelumnya pernah masuk warnet (dan ternyata memang tertular di sana) itu menularkan virusnya ke komputer B ketika teman tersebut berusaha membuka salah satu "folder" yang mencurigakan. Karena "folder" itu ternyata bukan folder tapi program induk yang menyamar seperti folder, sehingga ketika dibuka justru mengaktifkan virus.
Alhasil, selama dua hari kami berkutat mencoba membasmi virus tersebut. Untunglah virus itu termasuk virus yang "baik", dalam arti tidak merusak data apapun, hanya menyembunyikan file-file executable, menggandakan diri, dan menampilkan screen saver yang mengerikan. Untung juga, Ari menemukan situs vaksin.com yang sangat membantu kami melakukan pembasmian. Sayangnya situs itu mengasumsikan sistem operasi Windows XP, sedangkan komputer yang tertular menggunakan Windows 98, sehingga terjadi sedikit kebingungan, sampai akhirnya kami putuskan untuk memformat ulang saja, dengan lebih dulu menyelamatkan data-data di dalamnya.
Lalu bagaimana komputer lain bisa tertular lagi dengan virus yang sama? Terus terang ini keteledoran kami sendiri. Waktu komputer B sudah kena, ada yang mencoba menjalankan program anti virus dari komputer lain, katakanlah komputer C, lewat jaringan. Alih-alih membersihkan virus, justru program antivirus itu yang ketularan, tapi waktu itu tidak ada yang menyadarinya, karena virus itu tidak aktif di komputer C, hanya "tertidur" saja. Baru ketika kemarin seseorang mencoba meng-install program tersebut dari komputer lain lagi, komputer D, terbangunlah si kere dan menulari komputer D. Tapi kali ini kami sudah lebih berpengalaman, sehingga bisa dengan tenang mengikuti petunjuk pembasmian, dengan sedikit memodifikasi beberapa perintah registry agar sesuai dengan sistem operasi yang, sekali lagi, Windows 98. Satu saran bagi teman-teman yang ingin mencoba melakukan pembersihan manual, file registry tidak bisa dijalankan dari GUI Windows seperti yang disarankan oleh situs tersebut, karena waktu itu aplikasi regedit belum bisa dijalankan, jadi harus dilakukan dalam mode DOS.
Pelajaran dari peristiwa ini adalah: selalu waspada. Selain itu, ternyata komputer yang nampaknya tidak terkena virus dapat juga menjadi medium perantara penularan virus. Seperti dalam kasus ini, komputer A dan C ternyata tidak tertular sama sekali, walaupun program virus sempat ngendon di dalamnya, dan justru menjadi perantara penularan komputer B dan D. Pelajaran lainnya adalah selalu tenang dan teliti mengikuti prosedur, karena dalam kasus pertama, yang menyebabkan pembasmian menjadi lebih sulit sebenarnya bukan virusnya sendiri, melainkan ada prosedur yang dilakukan dengan urutan terbalik, sehingga membuat sistem operasi jadi tidak dapat diakses.
24 March 2007
Apakah saya sudah kecanduan ponsel?
Saya selalu berusaha men-charge ponsel dalam keadaan mati dan baterainya sudah benar-benar habis. Ini kebiasaan lama sejak saya memiliki ponsel pertama sekitar 10 tahun yang lalu. Waktu itu ada mitos bahwa jika ponsel di-charge ketika baterai belum habis, maka kapasitas baterai akan berkurang sebanyak sisa yang belum terpakai.Saya tidak tahu apakah mitos itu memang benar, atau memang benar-benar hanya mitos, tapi yang jelas saya mempraktekkannya hingga sekarang, setelah saya berganti ponsel beberapa kali. Beberapa teman mengatakan bahwa sekarang sudah tidak perlu lagi melakukan hal tersebut karena teknologi baterai sekarang sudah lebih canggih, tapi saya tetap saja melakukannya. Bahkan kadang-kadang ketika saya terpaksa melanggar hal tersebut, saya merasa baterai ponsel jadi lebih cepat habis, entah memang benar, atau hanya perasaan saja.
Karena itu pagi ini, agak di luar kebiasaan, saya sengaja memasang headset dan mulai mendengarkan beberapa MP3 yang tersimpan di ponsel saya, agar baterainya cepat habis dan bisa segera di-charge. Dua jam kemudian baterai benar-benar habis, tapi saya jadi tersentak karena ternyata saya lupa membawa charger. Waduh! Kenapa bisa lupa ya? Ah, pakai kabel data saja, kan bisa di-charge lewat USB. Tapi ternyata kabel data pun tidak terbawa. Benar-benar sial, nih! Sesaat saya termangu-mangu. Bagaimana saya bisa melewati sisa hari ini tanpa ponsel? Masih jam 10 pagi. Bagaimana jika ada yang mencoba menghubungi saya? Ah, kan masih ada ponsel satunya, yang CDMA. Tapi tidak banyak orang yang tahu nomornya, bahkan saya sendiri masih sering lupa. Lagipula, ponsel itu tidak secanggih ponsel yang mati ini. Bagaimana kalau ada peristiwa yang ingin saya abadikan gambarnya? Atau direkam suaranya? Oh ya, nomor telepon, email dan alamat semua orang yang saya kenal juga tersimpan dalam ponsel itu, dan tidak ada yang saya ingat di luar kepala, kecuali beberapa, kurang dari sepuluh, nomor paling penting. Begitu pula dengan agenda kegiatan dan catatan penting, semuanya ada di sana!
Apakah saya sudah begitu tergantungnya dengan ponsel? Sampai hidup saya dikendalikan olehnya? Apakah saya sudah berubah menjadi pecandu ponsel? Dalam artikelnya yang lucu tapi sinis, Howard Melamed mengatakan bahwa ponsel adalah America's #1 Addiction Problem. Bahkan sebuah artikel di Taipei Times berani menyatakan bahwa kecanduan ponsel, khususnya SMS, akan menjadi kecanduan non-drug terbesar di abad 21 ini. Saya mengenal beberapa orang yang tidak pernah mau memiliki ponsel (padahal mereka mampu memilikinya). Salah satu alasannya adalah bahwa mereka tidak merasa membutuhkan ponsel, dan memilikinya akan menciptakan kebutuhan tersebut dan membuat mereka bergantung padanya. Saya merasa kurang sreg dengan argumen tersebut, walaupun tidak tahu persis di mana letak kesalahannya, mungkin karena saya melihat mereka sendiri kadang-kadang meminjam ponsel orang lain jika keadaan benar-benar mendesak.
Di satu sisi memang benar, ponsel banyak sekali mengubah gaya hidup manusia. Dapat dikatakan bahwa sepanjang sejarah peradaban, saat inilah untuk pertama kalinya setiap orang dapat berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang yang lain setiap saat. Tentu saja gegar budaya terjadi di mana-mana. Tapi apakah memakai ponsel secara maksimal di segala aspek kehidupan bisa disamakan dengan kecanduan? Jeffrey Tucker menganggap kecanduan ponsel itu hanya sekadar mitos saja, semacam urban legend yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak siap dengan perkembangan jaman.
Apapun yang terjadi, saya akhirnya bisa mengatasi masalah ketiadaan ponsel, dan hari ini berlalu dengan baik-baik saja. Tapi jika ada yang masih penasaran dan bertanya-tanya, "Apakah saya juga sudah kecanduan ponsel?" Silakan isi kuis ini, dan beritahu saya berapa skor Anda, dan mungkin saya akan memberitahu Anda berapa skor saya :)
08 March 2007
Setelah Hujan
Sejak kecil saya selalu menyukai hujan. Jika hujan turun cukup lebat dan lama, selokan di depan rumah saya di Jogja akan berubah menjadi sungai kecil yang arusnya lumayan deras. Saya dan adik saya akan membuat kapal-kapalan, bebek-bebekan, atau apa saja yang bisa mengapung, kemudian dengan mengenakan jas hujan dan payung, kami akan menghanyutkan benda-benda tersebut di selokan. Kami akan mengamati "kapal-kapal" tersebut meluncur di arus air sampai menghilang di tikungan di ujung jalan. Kadang-kadang kami mengejar sampai ke tikungan untuk melihat kapal siapa yang selamat melewati air terjun kecil di sana, yang menghubungkan selokan kami dengan saluran air yang lebih besar.
Setelah puas hujan-hujanan, Mama akan memanggil kami masuk dan menyuruh kami mandi air hangat, kemudian minum susu atau teh hangat yang telah disediakannya, dan nonton tivi atau tidur berselimut tebal sambil mendengarkan suara hujan di atap dan guntur di kejauhan, atau sekadar memandangi pola-pola aliran air yang berubah-ubah di jendela kaca. Hujan demi hujan mengajar saya tentang keceriaan, kehangatan kasih dan perlindungan dalam keluarga, yang pada gilirannya mengajar hal yang sama juga tentang Tuhan. Sampai sekarang, setiap kali kehujanan di jalan, yang pertama terpikir adalah rumah, keluarga, dan Tuhan.
Tapi, ada hal lain yang lebih saya sukai mengenai hujan, yaitu suasana setelah hujan. Biasanya langit akan menjadi cerah, udara lebih segar, tanah dan pepohonan basah seperti habis dicuci, hati dan pikiran jadi ikut jernih. Saya selalu teringat cerita Sekolah Minggu tentang Nuh. Setelah hampir satu tahun dalam bahtera yang pengap dengan ratusan pasang binatang, saya bisa membayangkan Nuh dan keluarganya yang membuka pintu bahtera, memandang ke sekeliling dengan takjub, menengadahkan kepala, memejamkan mata dan menghirup dalam-dalam udara segar di bumi yang baru saja dicuci bersih oleh Tuhan. Apalagi kalau ada pelangi, rasanya ingat lagi janji Tuhan bahwa ia akan selalu mengasihi saya.
Hujan seakan menghapuskan dan menghanyutkan banyak hal yang negatif, termasuk dosa, dan menggantinya dengan kesucian, keindahan dan kesegaran hidup baru. Seperti pagi ini. Hujan lebat yang turun semalaman berhenti tepat ketika saya akan berangkat ke kantor. Meskipun rasanya ingin tidur lagi, karena hawa begitu dingin, dan meskipun pakaian saya agak kotor terkena cipratan air dari genangan yang dilalui mobil dan motor lain di jalan, tapi saya tetap ceria, dan berdoa, "Tuhan, ingatkan aku agar ingat janji-Mu untuk mengasihi dunia."