Sejak kecil saya selalu menyukai hujan. Jika hujan turun cukup lebat dan lama, selokan di depan rumah saya di Jogja akan berubah menjadi sungai kecil yang arusnya lumayan deras. Saya dan adik saya akan membuat kapal-kapalan, bebek-bebekan, atau apa saja yang bisa mengapung, kemudian dengan mengenakan jas hujan dan payung, kami akan menghanyutkan benda-benda tersebut di selokan. Kami akan mengamati "kapal-kapal" tersebut meluncur di arus air sampai menghilang di tikungan di ujung jalan. Kadang-kadang kami mengejar sampai ke tikungan untuk melihat kapal siapa yang selamat melewati air terjun kecil di sana, yang menghubungkan selokan kami dengan saluran air yang lebih besar.
Setelah puas hujan-hujanan, Mama akan memanggil kami masuk dan menyuruh kami mandi air hangat, kemudian minum susu atau teh hangat yang telah disediakannya, dan nonton tivi atau tidur berselimut tebal sambil mendengarkan suara hujan di atap dan guntur di kejauhan, atau sekadar memandangi pola-pola aliran air yang berubah-ubah di jendela kaca. Hujan demi hujan mengajar saya tentang keceriaan, kehangatan kasih dan perlindungan dalam keluarga, yang pada gilirannya mengajar hal yang sama juga tentang Tuhan. Sampai sekarang, setiap kali kehujanan di jalan, yang pertama terpikir adalah rumah, keluarga, dan Tuhan.
Tapi, ada hal lain yang lebih saya sukai mengenai hujan, yaitu suasana setelah hujan. Biasanya langit akan menjadi cerah, udara lebih segar, tanah dan pepohonan basah seperti habis dicuci, hati dan pikiran jadi ikut jernih. Saya selalu teringat cerita Sekolah Minggu tentang Nuh. Setelah hampir satu tahun dalam bahtera yang pengap dengan ratusan pasang binatang, saya bisa membayangkan Nuh dan keluarganya yang membuka pintu bahtera, memandang ke sekeliling dengan takjub, menengadahkan kepala, memejamkan mata dan menghirup dalam-dalam udara segar di bumi yang baru saja dicuci bersih oleh Tuhan. Apalagi kalau ada pelangi, rasanya ingat lagi janji Tuhan bahwa ia akan selalu mengasihi saya.
Hujan seakan menghapuskan dan menghanyutkan banyak hal yang negatif, termasuk dosa, dan menggantinya dengan kesucian, keindahan dan kesegaran hidup baru. Seperti pagi ini. Hujan lebat yang turun semalaman berhenti tepat ketika saya akan berangkat ke kantor. Meskipun rasanya ingin tidur lagi, karena hawa begitu dingin, dan meskipun pakaian saya agak kotor terkena cipratan air dari genangan yang dilalui mobil dan motor lain di jalan, tapi saya tetap ceria, dan berdoa, "Tuhan, ingatkan aku agar ingat janji-Mu untuk mengasihi dunia."
2 comments:
Ya ... saya juga paling senang suasana selepas hujan. kalau dulu, waktu masih SMP saya pasti sudah kayuh sepeda menyusuri jalan sepanjang Slamet Riyadi sampai manahan. Atau kalau tidak ke kawasan Solo Baru. Senang aja dengan suasananya. Segar.
Saya jadi ingin main hujan lagi. Apalagi sejak menetap di Solo setahun terakhir, baru sekali saya hujan-hujanan, menembus angin, sampai megap-megap. Meski tubuh mejadi basah semua, tapi saya sangat senang. Entah kapan bisa main hujan lagi.
Post a Comment