28 September 2007

300 vs Apocalypto

Dua hari berturut-turut saya menonton dua film yang berbeda, tapi ternyata sangat mirip satu sama lain, yaitu 300 dan Apocalypto.

Dalam banyak hal jelas kedua film ini berbeda jauh. Yang satu berdasar kisah nyata, satunya fiksi dengan setting sejarah. Yang satu terjadi di Yunani, satunya di Amerika. Yang satu terjadi pada tahun 480 SM, satunya di akhir abad 15 atau awal abad 16 menjelang masa kedatangan conquistadores ke Amerika Tengah. Film pertama bercerita tentang perjuangan Leonidas dan 300 prajurit Sparta mempertahankan Thermopylae (Gerbang Panas) dari serbuan sejuta pasukan Persia di bawah pimpinan Xerxes. Sedangkan film kedua tentang perjuangan Jaguar Paw (Cakar Jaguar) menyelamatkan anak, istri dan dirinya sendiri dari kematian mengerikan akibat ulah para pembesar bangsa Maya.

Tapi, seperti sudah saya bilang di atas, ternyata banyak juga kemiripan dari kedua film ini. Yang jelas keduanya film "perang" alias film action. Satu kata yang saya pakai juga di atas untuk mendeskripsikan keduanya adalah "perjuangan", bedanya yang satu perjuangan sebuah bangsa, yang satunya perjuangan pribadi. Keduanya mengandalkan special effect untuk menghasilkan gambar-gambar yang mengundang decak kagum. Usaha (dan budget) yang tidak sedikit dikerahkan untuk menampilkan realisme yang luar biasa. Keduanya bisa dibilang film kolosal, dengan ratusan figuran dan stunt. Dan satu benang merah yang jelas-jelas menghubungkan keduanya adalah: kekerasan.

Kedua film mendapat kategori rating R untuk adegan kekerasan dan perang yang sangat graphic dan sedikit nudity. Dan memang sepanjang film, mulai dari menit pertama sampai terakhir, penonton disuguhi berbagai adegan kekerasan yang semakin lama semakin mencengangkan. Adegan potong kepala yang di film-film lama biasanya tidak ditampilkan dengan jelas, hanya diperlihatkan pedang menyentuh leher, dan sekilas kemudian tubuh roboh tanpa kepala, dalam kedua film ini ditampilkan sangat jelas, bahkan dalam slow motion, lengkap dengan ekspresi wajah korban saat pedang memisahkan kepala dari tubuhnya. Begitu pula adegan tangan terpotong, kaki terpotong, organ dalam tubuh terburai keluar, semuanya ditampilkan tanpa jeda, memaksa penonton yang bernyali ciut memejamkan mata atau memalingkan wajah.

Banyak adegan-adegan yang serupa dalam kedua film, misalnya scene ratusan mayat bertumpuk-tumpuk. Dalam 300, itu adalah mayat tentara Persia yang disusun membentuk tembok oleh tentara Sparta. Sedangkan dalam Apocalypto, mayat korban-korban tanpa kepala yang dibuang begitu saja di suatu lembah. Entah apa gunanya menampilkan semua adegan tersebut dengan begitu nyata, apakah hanya untuk pamer teknologi special effect? Atau ada alasan lain?

Memang kemajuan teknologi special effect sekarang sudah memungkinkan pembuat film untuk menghasilkan gambar apa pun yang diinginkannya. Adegan-adegan yang dulu hanya tersirat saja, dan mengandalkan imajinasi penonton untuk membayangkannya, sekarang bisa ditampilkan dengan sangat realistis. Jadi sudah tidak diperlukan lagi imajinasi untuk menonton film-film jaman sekarang. Orang hanya tinggal menonton sambil makan popcorn dan percaya bahwa semua itu benar-benar terjadi. Imajinasi ditumpulkan.

Ternyata bukan hanya imajinasi saja yang ditumpulkan, tapi juga telah terjadi desensitization - saya harus bolak-balik mengecek kamus, wiki, dan lain-lain untuk meyakinkan diri bahwa saya tidak salah tulis. Artinya, sense atau [panca] indera juga telah ditumpulkan, tidak lagi peka. Beberapa tahun yang lalu, untuk menampilkan kesan sadis, orang cukup menampilkan pisau dan beberapa darah yang menetes dari ujungnya; untuk menampilkan kesan horor, cukup dengan beberapa kelebat bayangan hitam dan suara musik pipe organ dalam nada minor. Untuk menampilkan kesan seksual, cukup dengan beberapa kerlingan dan pundak yang sedikit terbuka. Dan orang sudah bisa menangkap maksudnya dan merasakan kengerian, ketakutan, maupun kesensualannya.

Tapi sekarang, ada adegan seorang korban pembantaian yang terbelalak menyaksikan jantungnya sendiri yang masih berdenyut hangat di tangan seorang pendeta Maya, sesaat setelah si pendeta merobek dadanya dengan pisau batu, dan sesaat sebelum seorang pendeta lain memenggal kepalanya lalu melemparkannya bergulung-gulung melewati tangga piramida kepada kerumunan rakyat yang menonton dari bawah. Gambar yang mungkin tidak akan lolos sensor beberapa tahun yang lalu. Semua itu tentu tidak berubah dalam semalam, tapi melalui proses bertahun-tahun. Film demi film, adegan kekerasan demi adegan kekerasan, menumpulkan panca indera. Stimulus yang sama tidak lagi menggairahkan, setelah dialami berkali-kali, perlu yang lebih hebat lagi, lebih besar lagi, lebih luar biasa lagi.

Sebagai catatan pribadi, bagi saya film 300 masih lebih "baik" daripada Apocalypto. Alasannya? Dengan tata warna sephia, backdrop yang lebih surealis daripada realis, make up dan kostum yang berlebihan (lihat saja penampilan Xerxes dengan piercing dan rantai-rantainya yang lebih mirip banci daripada raja sebuah kerajaan besar, atau jubah merah para Spartan yang tetap mulus melambai walaupun tubuh mereka terkoyak-koyak) film ini lebih bisa saya nikmati sebagai sebuah fantasi. Darah yang muncrat berwarna coklat-sephia-kehitaman menyadarkan saya setiap saat bahwa ini hanya sebuah film dan bukan kenyataan. Sedangkan Apocalypto menampilkan kesederhanaan dan realisme yang tajam dan menusuk. Warna-warna alam dan tubuh manusia yang nyata, darah yang merah dan kental, semuanya seolah berusaha meyakinkan bahwa ini memang benar-benar terjadi, dan itu yang lebih mengerikan.

Tapi nyatanya, saya tetap tidak berkedip, tidak jijik dan tidak mual menyaksikan semua itu. Apakah saya juga sudah terkena desensitization? Penumpulan? Walahualam...

22 June 2007

SUBTEKS

Nanti ketemu ya?
(Aku kangen sama kamu.)

Sama siapa saja?
(Aku pingin berduaan saja sama kamu.)

Rame-rame.
(Aku ingin memamerkan kamu sama teman-temanku.)

Hmmm, cape ah.
(Kamu tidak memedulikan perasaanku!)

Hh? Terserah kamu aja sih.
(Kamu tidak menghargai aku!)

Kalo kamu maunya gimana?
(Bujuk aku dong. Rayu aku dong. Paksa aku dong.)

Ya..., kalo emang cape, gimana lagi? Aku gak mau maksa.
(Gengsi dong.)

Ya udah, selamat bersenang-senang ya.
(Dasar laki-laki gak punya perasaan!)

Oke, selamat istirahat ya.
(Dasar perempuan manja!)

***

Gimana acaranya tadi?
(Semoga kamu menyesal karena tidak bersamaku!)

Oke banget.
(Semoga kamu menyesal karena tidak bersamaku!)

Lagi ngapain sekarang?
(Sebenarnya sih... aku memang kesepian)

Lagi jalan.
(Sebenarnya sih... aku juga kesepian)

Mau jemput aku?
(Hmmm, sorry ya aku tadi kekanak-kanakan.)

Katanya tadi cape.
(Telat, sekarang aku udah telanjur bete.)

Hehe, sekarang udah enggak tuh.
(Halah, gitu aja kok marah sih?)

Ooo, gitu ya?
(Kamu itu... bener-bener hanya memikirkan diri sendiri!)

Iya, terus?
(Kalo kamu memang beranggapan aku seperti itu, ya sudah!)

Sekarang aku yang cape.
(Tuh, kan, terbukti.)

Ya, sudah.
(Ya, sudah.)

20 April 2007

El Laberinto del Fauno

Sudah lama saya tidak menonton sebuah film yang benar-benar mampu menyita seluruh perhatian saya, sampai saya menemukan El Laberinto del Fauno (Pan's Labyrinth).

Sejak awal film ini sudah "menipu" saya, bahkan sebelum saya menontonnya. Tadinya saya mengira ini adalah sebuah film petualangan fantasi, apalagi judulnya mengingatkan saya pada Labyrinth, film Jim Henson yang menjadi salah satu favorit masa kecil saya, tapi saya terkecoh. Memang ada unsur fantasi di dalamnya, tapi itu hanya sebagian kecil, sementara sebagian besar adalah tentang dunia nyata, dan bukan sembarang dunia nyata, melainkan dunia nyata yang kejam di Spanyol tahun 1944 pasca perang sipil. Ada begitu banyak kekerasan yang ditampilkan secara sangat realistis dan grafis, yang mungkin memang disengaja agar kontras dengan dunia imajinasi Ofelia (Ivana Baquero) yang masih polos. Beberapa kali saya harus memicingkan mata karena adegan kekerasan itu begitu brutal dan mengejutkan, terjadi begitu saja tanpa peringatan. Karena itu meskipun pemeran utama film ini seorang anak perempuan berusia 12 tahun, jelas ini bukan film anak-anak, atau film keluarga yang bisa ditonton orang dewasa bersama anak-anak. Ini bukan Harry Potter atau Lord of the Rings, ini jelas-jelas adalah film dewasa yang menuntut penontonnya untuk berpikir, tidak menelan setiap adegan begitu saja.

Film ini sulit dikategorikan, apakah termasuk jenis fantasi, atau justru horor? Sebagian besar adegan, termasuk adegan fantasi, bersuasana muram dan mencekam, kecuali adegan pembuka dan penutup yang menyiratkan secercah harapan di tengah segala kemuraman itu. Guillermo del Toro kelihatannya memang ingin menggabungkan berbagai unsur yang bertolak belakang sehingga membuat film ini menjadi sangat memikat dengan cara yang aneh. Ada keindahan yang mencekam, kengerian yang mengagumkan, dan kemuraman yang memberi harapan.

Plotnya sendiri sebenarnya sederhana, yaitu tentang kekuatan imajinasi seorang gadis kecil yang memberinya kemampuan untuk menghadapi kenyataan hidup yang keras dan kejam. Dari sini timbul pertanyaan, apakah imajinasi itu memang benar-benar memberi jalan keluar bagi masalah hidup? Atau hanya sekadar satu cara lain lagi untuk menipu diri sendiri dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, walaupun pada kenyataannya sama sekali bertolak belakang? Film ini tidak memberi jawaban yang tegas, hanya menampilkan akhir yang menggantung, terbuka pada berbagai penafsiran.

Jika Anda hanya ingin menikmati film akhir pekan dengan santai, saya tidak menyarankan untuk menonton film ini. Tapi jika Anda memang ingin mendapatkan sesuatu untuk direnungkan, saya sangat merekomendasikannya.

28 March 2007

Kena lagi!

Untuk kedua kalinya dalam bulan ini, ada komputer kantor yang terserang virus! Komputer yang berbeda. Virus yang sama. Dasar kere!

Tidak. Saya tidak sedang mengumpat, tetapi itulah nama virus yang menyerang komputer di kantor kami, setidaknya itu adalah nama program yang tampak di kotak dialog Close Program waktu saya menekan Ctrl-Alt-Del. Nama generiknya adalah W32/VBWorm.ZL. Memang bukan virus yang pintar menyembunyikan diri, bahkan tampaknya sang pencipta justru ingin memamerkan hasil karyanya pada setiap orang sesegera mungkin, sehingga virus ini jadi cepat terdeteksi. Namun demikian ternyata cukup merepotkan juga, bahkan sampai bisa menyerang dua kali, walaupun sebagian penyebabnya juga karena kelalaian kami sendiri.

Serangan pertama terjadi sekitar 2 minggu yang lalu ketika seorang teman memasukkan flashdisk ke salah satu komputer, sebut saja komputer A, dan mengaksesnya melalui jaringan dari komputer lain, sebut saja komputer B. Sebetulnya ada peraturan bahwa setiap flashdisk harus di-scan dulu dengan program antivirus, tapi sialnya, kali itu tidak. Dan flashdisk yang beberapa hari sebelumnya pernah masuk warnet (dan ternyata memang tertular di sana) itu menularkan virusnya ke komputer B ketika teman tersebut berusaha membuka salah satu "folder" yang mencurigakan. Karena "folder" itu ternyata bukan folder tapi program induk yang menyamar seperti folder, sehingga ketika dibuka justru mengaktifkan virus.

Alhasil, selama dua hari kami berkutat mencoba membasmi virus tersebut. Untunglah virus itu termasuk virus yang "baik", dalam arti tidak merusak data apapun, hanya menyembunyikan file-file executable, menggandakan diri, dan menampilkan screen saver yang mengerikan. Untung juga, Ari menemukan situs vaksin.com yang sangat membantu kami melakukan pembasmian. Sayangnya situs itu mengasumsikan sistem operasi Windows XP, sedangkan komputer yang tertular menggunakan Windows 98, sehingga terjadi sedikit kebingungan, sampai akhirnya kami putuskan untuk memformat ulang saja, dengan lebih dulu menyelamatkan data-data di dalamnya.

Lalu bagaimana komputer lain bisa tertular lagi dengan virus yang sama? Terus terang ini keteledoran kami sendiri. Waktu komputer B sudah kena, ada yang mencoba menjalankan program anti virus dari komputer lain, katakanlah komputer C, lewat jaringan. Alih-alih membersihkan virus, justru program antivirus itu yang ketularan, tapi waktu itu tidak ada yang menyadarinya, karena virus itu tidak aktif di komputer C, hanya "tertidur" saja. Baru ketika kemarin seseorang mencoba meng-install program tersebut dari komputer lain lagi, komputer D, terbangunlah si kere dan menulari komputer D. Tapi kali ini kami sudah lebih berpengalaman, sehingga bisa dengan tenang mengikuti petunjuk pembasmian, dengan sedikit memodifikasi beberapa perintah registry agar sesuai dengan sistem operasi yang, sekali lagi, Windows 98. Satu saran bagi teman-teman yang ingin mencoba melakukan pembersihan manual, file registry tidak bisa dijalankan dari GUI Windows seperti yang disarankan oleh situs tersebut, karena waktu itu aplikasi regedit belum bisa dijalankan, jadi harus dilakukan dalam mode DOS.

Pelajaran dari peristiwa ini adalah: selalu waspada. Selain itu, ternyata komputer yang nampaknya tidak terkena virus dapat juga menjadi medium perantara penularan virus. Seperti dalam kasus ini, komputer A dan C ternyata tidak tertular sama sekali, walaupun program virus sempat ngendon di dalamnya, dan justru menjadi perantara penularan komputer B dan D. Pelajaran lainnya adalah selalu tenang dan teliti mengikuti prosedur, karena dalam kasus pertama, yang menyebabkan pembasmian menjadi lebih sulit sebenarnya bukan virusnya sendiri, melainkan ada prosedur yang dilakukan dengan urutan terbalik, sehingga membuat sistem operasi jadi tidak dapat diakses.

24 March 2007

Apakah saya sudah kecanduan ponsel?

Pagi ini sebelum berangkat ke kantor, seperti biasa, saya memeriksa ponsel: baterai tinggal 4%. Wah, itu pasti gara-gara semalaman keasyikan men-download ringtone, wallpaper dan template bertema Paskah. Yang pasti juga, tagihan GPRS bulan ini akan melonjak lagi. Ah, soal tagihan itu dipecahkan belakangan saja, yang jelas baterai harus diisi, tapi tidak banyak waktu lagi, nanti saja di-charge di kantor.

Saya selalu berusaha men-charge ponsel dalam keadaan mati dan baterainya sudah benar-benar habis. Ini kebiasaan lama sejak saya memiliki ponsel pertama sekitar 10 tahun yang lalu. Waktu itu ada mitos bahwa jika ponsel di-charge ketika baterai belum habis, maka kapasitas baterai akan berkurang sebanyak sisa yang belum terpakai.Saya tidak tahu apakah mitos itu memang benar, atau memang benar-benar hanya mitos, tapi yang jelas saya mempraktekkannya hingga sekarang, setelah saya berganti ponsel beberapa kali. Beberapa teman mengatakan bahwa sekarang sudah tidak perlu lagi melakukan hal tersebut karena teknologi baterai sekarang sudah lebih canggih, tapi saya tetap saja melakukannya. Bahkan kadang-kadang ketika saya terpaksa melanggar hal tersebut, saya merasa baterai ponsel jadi lebih cepat habis, entah memang benar, atau hanya perasaan saja.

Karena itu pagi ini, agak di luar kebiasaan, saya sengaja memasang headset dan mulai mendengarkan beberapa MP3 yang tersimpan di ponsel saya, agar baterainya cepat habis dan bisa segera di-charge. Dua jam kemudian baterai benar-benar habis, tapi saya jadi tersentak karena ternyata saya lupa membawa charger. Waduh! Kenapa bisa lupa ya? Ah, pakai kabel data saja, kan bisa di-charge lewat USB. Tapi ternyata kabel data pun tidak terbawa. Benar-benar sial, nih! Sesaat saya termangu-mangu. Bagaimana saya bisa melewati sisa hari ini tanpa ponsel? Masih jam 10 pagi. Bagaimana jika ada yang mencoba menghubungi saya? Ah, kan masih ada ponsel satunya, yang CDMA. Tapi tidak banyak orang yang tahu nomornya, bahkan saya sendiri masih sering lupa. Lagipula, ponsel itu tidak secanggih ponsel yang mati ini. Bagaimana kalau ada peristiwa yang ingin saya abadikan gambarnya? Atau direkam suaranya? Oh ya, nomor telepon, email dan alamat semua orang yang saya kenal juga tersimpan dalam ponsel itu, dan tidak ada yang saya ingat di luar kepala, kecuali beberapa, kurang dari sepuluh, nomor paling penting. Begitu pula dengan agenda kegiatan dan catatan penting, semuanya ada di sana!

Apakah saya sudah begitu tergantungnya dengan ponsel? Sampai hidup saya dikendalikan olehnya? Apakah saya sudah berubah menjadi pecandu ponsel? Dalam artikelnya yang lucu tapi sinis, Howard Melamed mengatakan bahwa ponsel adalah America's #1 Addiction Problem. Bahkan sebuah artikel di Taipei Times berani menyatakan bahwa kecanduan ponsel, khususnya SMS, akan menjadi kecanduan non-drug terbesar di abad 21 ini. Saya mengenal beberapa orang yang tidak pernah mau memiliki ponsel (padahal mereka mampu memilikinya). Salah satu alasannya adalah bahwa mereka tidak merasa membutuhkan ponsel, dan memilikinya akan menciptakan kebutuhan tersebut dan membuat mereka bergantung padanya. Saya merasa kurang sreg dengan argumen tersebut, walaupun tidak tahu persis di mana letak kesalahannya, mungkin karena saya melihat mereka sendiri kadang-kadang meminjam ponsel orang lain jika keadaan benar-benar mendesak.

Di satu sisi memang benar, ponsel banyak sekali mengubah gaya hidup manusia. Dapat dikatakan bahwa sepanjang sejarah peradaban, saat inilah untuk pertama kalinya setiap orang dapat berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang yang lain setiap saat. Tentu saja gegar budaya terjadi di mana-mana. Tapi apakah memakai ponsel secara maksimal di segala aspek kehidupan bisa disamakan dengan kecanduan? Jeffrey Tucker menganggap kecanduan ponsel itu hanya sekadar mitos saja, semacam urban legend yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak siap dengan perkembangan jaman.

Apapun yang terjadi, saya akhirnya bisa mengatasi masalah ketiadaan ponsel, dan hari ini berlalu dengan baik-baik saja. Tapi jika ada yang masih penasaran dan bertanya-tanya, "Apakah saya juga sudah kecanduan ponsel?" Silakan isi kuis ini, dan beritahu saya berapa skor Anda, dan mungkin saya akan memberitahu Anda berapa skor saya :)

08 March 2007

Setelah Hujan

Sejak kecil saya selalu menyukai hujan. Jika hujan turun cukup lebat dan lama, selokan di depan rumah saya di Jogja akan berubah menjadi sungai kecil yang arusnya lumayan deras. Saya dan adik saya akan membuat kapal-kapalan, bebek-bebekan, atau apa saja yang bisa mengapung, kemudian dengan mengenakan jas hujan dan payung, kami akan menghanyutkan benda-benda tersebut di selokan. Kami akan mengamati "kapal-kapal" tersebut meluncur di arus air sampai menghilang di tikungan di ujung jalan. Kadang-kadang kami mengejar sampai ke tikungan untuk melihat kapal siapa yang selamat melewati air terjun kecil di sana, yang menghubungkan selokan kami dengan saluran air yang lebih besar.

Setelah puas hujan-hujanan, Mama akan memanggil kami masuk dan menyuruh kami mandi air hangat, kemudian minum susu atau teh hangat yang telah disediakannya, dan nonton tivi atau tidur berselimut tebal sambil mendengarkan suara hujan di atap dan guntur di kejauhan, atau sekadar memandangi pola-pola aliran air yang berubah-ubah di jendela kaca. Hujan demi hujan mengajar saya tentang keceriaan, kehangatan kasih dan perlindungan dalam keluarga, yang pada gilirannya mengajar hal yang sama juga tentang Tuhan. Sampai sekarang, setiap kali kehujanan di jalan, yang pertama terpikir adalah rumah, keluarga, dan Tuhan.

Tapi, ada hal lain yang lebih saya sukai mengenai hujan, yaitu suasana setelah hujan. Biasanya langit akan menjadi cerah, udara lebih segar, tanah dan pepohonan basah seperti habis dicuci, hati dan pikiran jadi ikut jernih. Saya selalu teringat cerita Sekolah Minggu tentang Nuh. Setelah hampir satu tahun dalam bahtera yang pengap dengan ratusan pasang binatang, saya bisa membayangkan Nuh dan keluarganya yang membuka pintu bahtera, memandang ke sekeliling dengan takjub, menengadahkan kepala, memejamkan mata dan menghirup dalam-dalam udara segar di bumi yang baru saja dicuci bersih oleh Tuhan. Apalagi kalau ada pelangi, rasanya ingat lagi janji Tuhan bahwa ia akan selalu mengasihi saya.

Hujan seakan menghapuskan dan menghanyutkan banyak hal yang negatif, termasuk dosa, dan menggantinya dengan kesucian, keindahan dan kesegaran hidup baru. Seperti pagi ini. Hujan lebat yang turun semalaman berhenti tepat ketika saya akan berangkat ke kantor. Meskipun rasanya ingin tidur lagi, karena hawa begitu dingin, dan meskipun pakaian saya agak kotor terkena cipratan air dari genangan yang dilalui mobil dan motor lain di jalan, tapi saya tetap ceria, dan berdoa, "Tuhan, ingatkan aku agar ingat janji-Mu untuk mengasihi dunia."

21 February 2007

Pilkades

Capri menggonggong lebih keras dari biasanya, menandakan ada tamu yang tidak biasa. Benar juga. Dua orang ibu berpayung - karena gerimis - berdiri di depan pintu gerbang. "Budenya ada, Mas?" tanya mereka mencari Mamaku. Dia sedang ikut bidston ibu-ibu GKJ di perumahan seberang jalan. Begitu juga Papaku yang ke Solo Baru menengok cucu. "Oh, ya sudah, ini titip pesan aja, besok nyoblos ketela ya, demi kemajuan desa kita. Permisi, Mas." pamit mereka sambil menjejalkan tiga pucuk sampul kecil bergambar ketela dan foto seorang pria berpeci. Aku harus segera ke gereja lagi, karena itu aku taruh ketiga sampul itu di sebelah televisi, tempat biasanya aku menaruh pesan-pesan penting yang pasti akan langsung terlihat oleh Mamaku ketika dia akan menonton sinetron kesayangannya.

Malamnya, aku disambut dengan cerita tentang kejadian pagi tadi. Para kader Posyandu dan ibu-ibu PKK sekompleks perumahan dikumpulkan untuk menyambut kunjungan Kepala Desa, yang tahun ini mencalonkan kembali untuk masa jabatan kedua. Dia datang membawa seragam baru untuk Posyandu, "Sayang aku ndak dapat, lha wong aku sudah bukan kader lagi," keluh Mamaku, setengah bercanda, setengah serius. Dan ada yang lain lagi, yaitu masing-masing ibu yang hadir mendapat sepucuk sampul, yang ini bergambar padi, berisi uang Rp. 50.000,-. "Jadi hari ini sudah dapat Rp. 140.000,-." simpul Mamaku. Ternyata tiga sampul gambar ketela tersebut masing-masing berisi Rp. 30.000,-, satu untuk Papaku, satu untuk Mamaku, dan satu untuk aku.

"Tapi aku sekarang jadi bingung," keluh Mamaku, "aku kan tadi pagi sudah berjanji akan nyoblos padi, tapi kenapa sekarang yang ketela juga kasih uang, enaknya gimana, ya?"

"Wah, meneketehe," candaku, walaupun sebenarnya aku memang benar-benar tidak tahu. Terus terang urusan pemilihan kepala desa alias pilkades (yang sering aku plesetkan jadi pilkadal) ini jauh di luar jangkauan pemikiranku. Boro-boro programnya, orangnya saja aku sama sekali tidak kenal. Nama-nama mereka tidak pernah tercatat di benakku. Paling-paling cuma tahu ada tiga calon: padi, ketela, dan jagung. Padi adalah Kepala Desa lama yang mencalonkan kembali. Dua yang lain orang baru. Selama tinggal di sini aku juga jarang sekali berurusan dengan balai desa, kecuali setahun sekali waktu membuat KTP. Jadi waktu beberapa hari yang lalu Mamaku mengumumkan akan ada pilkades aku tidak terlalu peduli, apalagi di hari dan jam kantor, males harus ijin segala, sehingga aku memutuskan tidak akan nyoblos saja.

"... wis to, jaman sekarang ini pokoknya harus ati-ati kalo ngomong, jangan sembarangan, liat-liat dulu sama siapa." akhirnya Mamaku mengakhiri ceritanya yang berapi-api tentang aksi, entah pemukulan atau penamparan yang dilakukan Bp. S, tetangga belakang rumah kepada seorang remaja gara-gara keduanya memihak pada kubu yang berbeda. Masih cerita seputar pilkades juga. Duh, cape deh. Akhirnya, "besok kamu pagi-pagi ke balai desa bareng aku ya? Mau nggak? Kalo nggak mau ya udah, aku bareng Bu Benny saja, nyoblosnya jam setengah dua, pas hampir selesai, biar nggak antri." Rupanya dia mendeteksi keenggananku. Besok pagi sajalah aku putuskan, begitu kurang lebih jawabanku.

Paginya, lebih didasari rasa kasihan, aku putuskan mengantar Mamaku ke balai desa. Terpaksa ijin masuk kantor agak terlambat. Di sana sudah terdapat puluhan orang, tapi acara belum dimulai. Ada sekitar 50-60 petugas berseragam kuning pucat, berdasi. Sepertiganya duduk-duduk di belakang meja administrasi yang ditata berkeliling di halaman, walaupun yang kelihatan benar-benar bekerja bisa dihitung dengan jari satu tangan. Sepertiga lagi di dalam ruangan pencoblosan, entah melakukan apa. Dan sisanya berkeliaran sambil merokok dan ngobrol. Sekitar 20 petugas berseragam mirip satpam (belakangan aku dengar mereka disebut LINMAS) petentang-petenteng kesana-kemari. Aku dan Mamaku segera menyerahkan kertas undangan yang ditandatangani petugas dan duduk di tempat yang sudah disediakan. "Nanti antri menurut posisi duduknya," demikian jelas seorang satpam, "satu-persatu maju ke meja di sebelah pintu dan menukarkan undangan dengan kartu coblosan, sementara yang lain menggeser posisi duduk." lanjutnya. Tapi aku lihat banyak yang tidak duduk, malah berdiri bergerombol di dekat pintu. Wah, bisa jadi masalah ini, pikirku, tapi biar sajalah, kan sudah banyak petugas yang mengatur, pasti beres.

Tepat jam 8.00 acara dimulai. Seorang petugas berseragam kuning pucat memandu dengan mikrofon yang disetel agak terlalu keras, komplit dengan echo persis seperti di acara sunatan atau kawinan, sementara belasan petugas lain berkerumun di sekitarnya dan melakukan instruksi-instruksi yang disampaikannya. Buka segel, buka kotak suara, keluarkan kertas suara, hitung kertas suara, tutup kotak suara, kunci kotak suara, dan seterusnya. Selanjutnya peraturan-peraturan, dan lain-lain. Untung saja aku membawa buku untuk dibaca sehingga tidak terlalu jenuh menunggu. Akhirnya tibalah saatnya. Petugas itu mengumumkan bahwa pencoblosan sudah boleh dimulai. Spontan penduduk yang tadi bergerombol segera merangsek, berjejal di depan pintu masuk. Sebagian yang duduk langsung berdiri dan ikut meramaikan kerumunan. Pemandu berteriak-teriak, "LINMAS, LINMAS, HARAP IKUT MEMBANTU MENERTIBKAN!" berulang-ulang. Para LINMAS beraksi, tapi penduduk tidak peduli lagi dengan teriakan-teriakan untuk tertib. Mamaku segera beranjak dan ikut mendesak ke depan. Ternyata wanita dan orang tua (dia lolos di dua kategori itu) didahulukan. Alhasil beberapa menit kemudian dia sudah keluar dari pintu samping dengan tersenyum-senyum. Sementara aku semakin jauh dari pintu masuk, dan akhirnya meninggalkan tempat pencoblosan, langsung ke parkiran.

"Nyoblos apa tadi, Ma?" tanyaku, "Jelas padi dong, aku kan orang yang selalu menepati janji." jawab Mamaku puas. "Eh, tadi di pintu luar masih dikasih amplop lagi, tapi yang ini isinya cuma Rp. 10.000,-, entah untuk apa, mungkin transport ya?". Ya, ampun, pikirku, jadi untuk urusan ini saja satu rumah sudah dapat Rp. 150.000,-. Berapa biaya total yang dikeluarkan masing-masing calon kepala desa ya? Tapi semuanya itu nanti akan impas terbayar dari hasil korupsi, sogokan dan pungutan yang akan diperoleh pememangnya setelah menjadi kepala desa. Sungguh luar biasa negaraku tercinta ini. "Lha, kamu nyoblos apa?" lanjutnya lagi. "Aku nggak nyoblos, males."

10 January 2007

Mengapa saya menulis blog (lagi)?

Setelah cukup lama meninggalkan masyarakat virtual karena satu dan lain hal, kali ini saya memutuskan untuk kembali mencoba menulis blog. Bukan hanya karena mengikuti tren, tapi karena tahun ini saya telah bertekad untuk memberi lebih. Selama ini begitu banyak yang telah saya dapatkan dan pelajari dari masyarakat ini, dan saya belum menyumbang apa pun.

Semoga dengan blog kali ini, saya bisa memberi lebih. Bukan sekadar curahan hati, uneg-uneg atau keluhan yang tidak dipahami siapa pun, tapi sesuatu yang bisa bermanfaat juga bagi orang-orang di sekitar saya, baik secara real, maupun virtual. Saya tidak berharap blog ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa, tapi setidaknya jika ada satu orang saja yang mendapat berkat melaluinya, itu adalah alasan untuk bersyukur.

Biarlah waktu yang membuktikan.

05 January 2007

Mulai

Ternyata, memulai sesuatu yang baru itu sangat sulit.

Sampai hari ini, saya masih belum juga menulis jurnal, salah satu resolusi tahun baru saya. Sudah lima hari memasuki tahun 2007 dan buku itu masih kosong. Begitu banyak ide dan pemikiran di benak saya, tapi untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan, rasanya tidak ada kesempatan. Malam hari sebetulnya saat yang tepat untuk menulis, ketika pengalaman hari itu masih segar di ingatan, tapi saya lebih sering mengalah pada rasa capek dan mengantuk yang menyerang, kemudian berjanji pada diri sendiri untuk bangun pagi-pagi dan menulis. Tapi paginya, lebih sering terlambat bangun dan melakukan segalanya dengan terburu-buru agar tidak terlambat masuk kantor, itu satu resolusi tahun baru lagi yang rasanya makin sulit dipertahankan...

Alhasil, saat teduh dengan teratur (resolusi lainnya) pun terancam gagal. Baca Alkitab dengan terburu-buru, baca renungan sepintas, berdoa cepat-cepat, dan segera bangkit dari duduk tanpa sempat merenung. Itulah yang terjadi setiap harinya. Bukan hanya itu, banyak resolusi tahun baru lainnya yang bahkan tidak lagi sempat terpikir, seperti: lebih rajin berolah raga, membaca lebih banyak buku, belajar hal baru, dan sebagainya.

Memang, memulai sesuatu yang baru itu sangat sulit.

Apalagi jika semuanya memerlukan waktu untuk belajar, waktu untuk penyesuaian diri, dan yang jelas, waktu untuk melaksanakannya. Berapa banyak orang seperti saya, yang merencanakan sesuatu tanpa memikirkan apakah saya memiliki waktu dan kemampuan yang cukup untuk menyelesaikan semuanya?