20 April 2007

El Laberinto del Fauno

Sudah lama saya tidak menonton sebuah film yang benar-benar mampu menyita seluruh perhatian saya, sampai saya menemukan El Laberinto del Fauno (Pan's Labyrinth).

Sejak awal film ini sudah "menipu" saya, bahkan sebelum saya menontonnya. Tadinya saya mengira ini adalah sebuah film petualangan fantasi, apalagi judulnya mengingatkan saya pada Labyrinth, film Jim Henson yang menjadi salah satu favorit masa kecil saya, tapi saya terkecoh. Memang ada unsur fantasi di dalamnya, tapi itu hanya sebagian kecil, sementara sebagian besar adalah tentang dunia nyata, dan bukan sembarang dunia nyata, melainkan dunia nyata yang kejam di Spanyol tahun 1944 pasca perang sipil. Ada begitu banyak kekerasan yang ditampilkan secara sangat realistis dan grafis, yang mungkin memang disengaja agar kontras dengan dunia imajinasi Ofelia (Ivana Baquero) yang masih polos. Beberapa kali saya harus memicingkan mata karena adegan kekerasan itu begitu brutal dan mengejutkan, terjadi begitu saja tanpa peringatan. Karena itu meskipun pemeran utama film ini seorang anak perempuan berusia 12 tahun, jelas ini bukan film anak-anak, atau film keluarga yang bisa ditonton orang dewasa bersama anak-anak. Ini bukan Harry Potter atau Lord of the Rings, ini jelas-jelas adalah film dewasa yang menuntut penontonnya untuk berpikir, tidak menelan setiap adegan begitu saja.

Film ini sulit dikategorikan, apakah termasuk jenis fantasi, atau justru horor? Sebagian besar adegan, termasuk adegan fantasi, bersuasana muram dan mencekam, kecuali adegan pembuka dan penutup yang menyiratkan secercah harapan di tengah segala kemuraman itu. Guillermo del Toro kelihatannya memang ingin menggabungkan berbagai unsur yang bertolak belakang sehingga membuat film ini menjadi sangat memikat dengan cara yang aneh. Ada keindahan yang mencekam, kengerian yang mengagumkan, dan kemuraman yang memberi harapan.

Plotnya sendiri sebenarnya sederhana, yaitu tentang kekuatan imajinasi seorang gadis kecil yang memberinya kemampuan untuk menghadapi kenyataan hidup yang keras dan kejam. Dari sini timbul pertanyaan, apakah imajinasi itu memang benar-benar memberi jalan keluar bagi masalah hidup? Atau hanya sekadar satu cara lain lagi untuk menipu diri sendiri dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, walaupun pada kenyataannya sama sekali bertolak belakang? Film ini tidak memberi jawaban yang tegas, hanya menampilkan akhir yang menggantung, terbuka pada berbagai penafsiran.

Jika Anda hanya ingin menikmati film akhir pekan dengan santai, saya tidak menyarankan untuk menonton film ini. Tapi jika Anda memang ingin mendapatkan sesuatu untuk direnungkan, saya sangat merekomendasikannya.

1 comment:

Anonymous said...

Ini film yang memiliki kekuatannya tersendiri. Meski menyaksikannya sambil terkantuk-kantuk, saya seakan dihipnotis untuk terus menyaksikannya. Rasa penasaran yang besar untuk mengetahui apa tujuan utama atau pesan utama dari film ini membawa saya untuk terus menatap layar kaca lekat-lekat. Apalagi bahasa Inggris saya tidak bagus.

Sosok Il capitano Vidal yang klimis dan menakutkan, makhluk bertanduk yang bagi saya cukup menyeramkan, dan makhluk aneh dengan mata di tangan. Semuanya memiliki kekuatan yang luar biasa.

Uniknya, baru kali ini saya menyaksikan film dengan anti klimaks yang sedemikian singkat. "Darah adikmu, atau darahmu." Begitu kira-kira. Dan pilihan yang diambil Ofelia benar-benar pilihan yang tepat.

Ini jelas film yang menarik. Pertama, judulnya mengingatkan saya pada sebuah judul album Sonar del Laberinto, sebuah album berbahasa Spanyol. Ini merupakan salah satu album favorit saya, yang mungkin tidak akan pernah bisa saya dengarkan lagi.

Kedua, saya juga jadi ingat cerita Alice in Wonderland karya Lewis Carrol. Entah mengapa, baik Ofelia, maupun Alice sama-sama tidak merasa ngeri dengan makhluk-makhluk aneh yang mereka temui. Coba saja lihat si makhluk bertanduk itu, atau si monster yang matanya di tangan itu. Sementara dalam Alice in Wonderland ada kucing yang muncul sesukanya itu (saya lupa namanya).