21 February 2007

Pilkades

Capri menggonggong lebih keras dari biasanya, menandakan ada tamu yang tidak biasa. Benar juga. Dua orang ibu berpayung - karena gerimis - berdiri di depan pintu gerbang. "Budenya ada, Mas?" tanya mereka mencari Mamaku. Dia sedang ikut bidston ibu-ibu GKJ di perumahan seberang jalan. Begitu juga Papaku yang ke Solo Baru menengok cucu. "Oh, ya sudah, ini titip pesan aja, besok nyoblos ketela ya, demi kemajuan desa kita. Permisi, Mas." pamit mereka sambil menjejalkan tiga pucuk sampul kecil bergambar ketela dan foto seorang pria berpeci. Aku harus segera ke gereja lagi, karena itu aku taruh ketiga sampul itu di sebelah televisi, tempat biasanya aku menaruh pesan-pesan penting yang pasti akan langsung terlihat oleh Mamaku ketika dia akan menonton sinetron kesayangannya.

Malamnya, aku disambut dengan cerita tentang kejadian pagi tadi. Para kader Posyandu dan ibu-ibu PKK sekompleks perumahan dikumpulkan untuk menyambut kunjungan Kepala Desa, yang tahun ini mencalonkan kembali untuk masa jabatan kedua. Dia datang membawa seragam baru untuk Posyandu, "Sayang aku ndak dapat, lha wong aku sudah bukan kader lagi," keluh Mamaku, setengah bercanda, setengah serius. Dan ada yang lain lagi, yaitu masing-masing ibu yang hadir mendapat sepucuk sampul, yang ini bergambar padi, berisi uang Rp. 50.000,-. "Jadi hari ini sudah dapat Rp. 140.000,-." simpul Mamaku. Ternyata tiga sampul gambar ketela tersebut masing-masing berisi Rp. 30.000,-, satu untuk Papaku, satu untuk Mamaku, dan satu untuk aku.

"Tapi aku sekarang jadi bingung," keluh Mamaku, "aku kan tadi pagi sudah berjanji akan nyoblos padi, tapi kenapa sekarang yang ketela juga kasih uang, enaknya gimana, ya?"

"Wah, meneketehe," candaku, walaupun sebenarnya aku memang benar-benar tidak tahu. Terus terang urusan pemilihan kepala desa alias pilkades (yang sering aku plesetkan jadi pilkadal) ini jauh di luar jangkauan pemikiranku. Boro-boro programnya, orangnya saja aku sama sekali tidak kenal. Nama-nama mereka tidak pernah tercatat di benakku. Paling-paling cuma tahu ada tiga calon: padi, ketela, dan jagung. Padi adalah Kepala Desa lama yang mencalonkan kembali. Dua yang lain orang baru. Selama tinggal di sini aku juga jarang sekali berurusan dengan balai desa, kecuali setahun sekali waktu membuat KTP. Jadi waktu beberapa hari yang lalu Mamaku mengumumkan akan ada pilkades aku tidak terlalu peduli, apalagi di hari dan jam kantor, males harus ijin segala, sehingga aku memutuskan tidak akan nyoblos saja.

"... wis to, jaman sekarang ini pokoknya harus ati-ati kalo ngomong, jangan sembarangan, liat-liat dulu sama siapa." akhirnya Mamaku mengakhiri ceritanya yang berapi-api tentang aksi, entah pemukulan atau penamparan yang dilakukan Bp. S, tetangga belakang rumah kepada seorang remaja gara-gara keduanya memihak pada kubu yang berbeda. Masih cerita seputar pilkades juga. Duh, cape deh. Akhirnya, "besok kamu pagi-pagi ke balai desa bareng aku ya? Mau nggak? Kalo nggak mau ya udah, aku bareng Bu Benny saja, nyoblosnya jam setengah dua, pas hampir selesai, biar nggak antri." Rupanya dia mendeteksi keenggananku. Besok pagi sajalah aku putuskan, begitu kurang lebih jawabanku.

Paginya, lebih didasari rasa kasihan, aku putuskan mengantar Mamaku ke balai desa. Terpaksa ijin masuk kantor agak terlambat. Di sana sudah terdapat puluhan orang, tapi acara belum dimulai. Ada sekitar 50-60 petugas berseragam kuning pucat, berdasi. Sepertiganya duduk-duduk di belakang meja administrasi yang ditata berkeliling di halaman, walaupun yang kelihatan benar-benar bekerja bisa dihitung dengan jari satu tangan. Sepertiga lagi di dalam ruangan pencoblosan, entah melakukan apa. Dan sisanya berkeliaran sambil merokok dan ngobrol. Sekitar 20 petugas berseragam mirip satpam (belakangan aku dengar mereka disebut LINMAS) petentang-petenteng kesana-kemari. Aku dan Mamaku segera menyerahkan kertas undangan yang ditandatangani petugas dan duduk di tempat yang sudah disediakan. "Nanti antri menurut posisi duduknya," demikian jelas seorang satpam, "satu-persatu maju ke meja di sebelah pintu dan menukarkan undangan dengan kartu coblosan, sementara yang lain menggeser posisi duduk." lanjutnya. Tapi aku lihat banyak yang tidak duduk, malah berdiri bergerombol di dekat pintu. Wah, bisa jadi masalah ini, pikirku, tapi biar sajalah, kan sudah banyak petugas yang mengatur, pasti beres.

Tepat jam 8.00 acara dimulai. Seorang petugas berseragam kuning pucat memandu dengan mikrofon yang disetel agak terlalu keras, komplit dengan echo persis seperti di acara sunatan atau kawinan, sementara belasan petugas lain berkerumun di sekitarnya dan melakukan instruksi-instruksi yang disampaikannya. Buka segel, buka kotak suara, keluarkan kertas suara, hitung kertas suara, tutup kotak suara, kunci kotak suara, dan seterusnya. Selanjutnya peraturan-peraturan, dan lain-lain. Untung saja aku membawa buku untuk dibaca sehingga tidak terlalu jenuh menunggu. Akhirnya tibalah saatnya. Petugas itu mengumumkan bahwa pencoblosan sudah boleh dimulai. Spontan penduduk yang tadi bergerombol segera merangsek, berjejal di depan pintu masuk. Sebagian yang duduk langsung berdiri dan ikut meramaikan kerumunan. Pemandu berteriak-teriak, "LINMAS, LINMAS, HARAP IKUT MEMBANTU MENERTIBKAN!" berulang-ulang. Para LINMAS beraksi, tapi penduduk tidak peduli lagi dengan teriakan-teriakan untuk tertib. Mamaku segera beranjak dan ikut mendesak ke depan. Ternyata wanita dan orang tua (dia lolos di dua kategori itu) didahulukan. Alhasil beberapa menit kemudian dia sudah keluar dari pintu samping dengan tersenyum-senyum. Sementara aku semakin jauh dari pintu masuk, dan akhirnya meninggalkan tempat pencoblosan, langsung ke parkiran.

"Nyoblos apa tadi, Ma?" tanyaku, "Jelas padi dong, aku kan orang yang selalu menepati janji." jawab Mamaku puas. "Eh, tadi di pintu luar masih dikasih amplop lagi, tapi yang ini isinya cuma Rp. 10.000,-, entah untuk apa, mungkin transport ya?". Ya, ampun, pikirku, jadi untuk urusan ini saja satu rumah sudah dapat Rp. 150.000,-. Berapa biaya total yang dikeluarkan masing-masing calon kepala desa ya? Tapi semuanya itu nanti akan impas terbayar dari hasil korupsi, sogokan dan pungutan yang akan diperoleh pememangnya setelah menjadi kepala desa. Sungguh luar biasa negaraku tercinta ini. "Lha, kamu nyoblos apa?" lanjutnya lagi. "Aku nggak nyoblos, males."

1 comment:

k. novianto said...

Memang susah, karena sistem yang berjalan saat ini masih sangat mengharuskan orang berpola perilaku seperti itu. Beberapa waktu lalu tetangga saya datang mo pinjam uang 40 jt untuk memasukan anaknya ke Akpol, dia yakin bisa cepat balik modal setelah anaknya diterima jadi polisi.
Paman saya pernah pula cerita, klo mo diterima jadi Satpol PP saja, siap-siap modal seharga 2 ekor sapi. :))
mo dicari ujung pangkalnya juga susah, karena semua sudah saling kait, mengait jadi lingkaran setan, yang sulit diberantas.